Dunia kedokteran di Indonesia dimasa globalisasi ini perkembangannya kian melaju pesat. Banyak dokter tercetak dari keberadaan rumah sakit pendidikan. Bertahun dijadikan tempat belajar ribuan dokter, ternyata masih banyak RS Pendidikan menyimpan berbagai masalah. Tak pelak tanggungjawab hukum sebagai rumah sakit yang merupakan tulang punggung pendidikan dokter umum (S1), dokter spesialis (Sp.I), dan dokter spesialis konsultan (Sp.II) yang sebagian terkonsep sebagai RS Jejaring pendidikan, ternyata terus menjadi sorotan dan perdebatan karena tanggungjawab hukum yang masih sumir terus membayanginya.
Benturan-benturan kebijaksanaan dan kepentingan di RS Pendidikan akibat beragamnya status kepegawaian di antara dokter pendidik, pembimbing, dan penguji juga turut mewarnai kompleknya permasalahan. Selain itu RS Pendidikan yang satu sisi padat modal, padat karya dan padat teknologi tak lepas diiringi dengan padat konflik etikolegal, padat pemborosan dan padat ‘penggembosan’ & monopoli profesi.
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada yang merupakan salah satu penyumbang terbanyak lulusan tenaga dokter di Indonesia dalam upaya melakukan perbaikan, pengembangan dan inovasi dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Dokter dan Spesialis juga mengalami benturan terkait terbatasnya lahan pendidikan berupa rumah sakit dan puskesmas. Tiga rumah sakit besar yang telah dijadikan sebagai lahan pendidikan utama diantaranya RSUP Dr Sardjito, RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten dan RSUD Banyumas ternyata masih dirasa belum mencukupi sebagai lahan pendidikan.
Langkah lain FK UGM dalam membuat jejaring pendidikan dilakukan dengan ikatan MOU walaupun beberapa diantaranya telah berakhir, antara lain dengan RSUD Saras Husada Purworejo, RSUD Kab. Banjarnegara Jateng, RS Bethesda Yogya, RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang, RSUD Cilacap, RSUD Wates, RSUD Kota Yogya, RS Yap, dan RS Tidar Magelang. Tujuan MOU diantaranya meningkatkan pengalaman dan ketrampilan peserta Program Pendidikan, meningkatkan dan mengembangkan mutu pelayanan RSUD yang merupakan Rumah Sakit dan meningkatkan jaringan system rujukan (referal system) pelayanan kesehatan.
Peran yang begitu strategis pada rumah sakit pendidikan, menurut UU No 14 tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada pasal 23 ayat 1 disebutkan bahwa rumah sakit pendidikan merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Sehingga dalam penyelenggaraannya, pada ayat 2 Pasal 23 UU RS ditegaskan pula bahwa RS Pendidikan dapat membentuk rumah sakit jejaring pendidikan. Sejalan dengan pembentukan RS Jejaring pendidikan, pada pasal 41 UU RS juga menekankan bahwa pemerintah dan asosiasi RS dapat membentuk jejaring dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan, dan jejaring yang dimaksudkan meliputi jejaring informasi, sarana prasarana, pelayanan, rujukan, penyediaan alat, dan pendidikan tenaga.
Dengan demikian RS Pendidikan sedikitnya memiliki empat fungsi, yakni yang utama sebagai pusat layanan kesehatan rujukan, sekaligus menjadi tempat pendidikan, penelitian, dan sebagai tempat penapisan teknologi kedokteran. Maka tak heran bila rumah sakit pendidikan seharusnya memang lebih unggul dibandingkan rumah sakit lain non pendidikan.
RS Pendidikan sendiri dalam jejaringnya diklasifikasikan menjadi 3 katagori yaitu RS Pendidikan Utama, RS Pendidikan Afiliasi dan RS Pendidikan Satelit. Untuk mengklasifikasikan RS Pendidikan ada persyaratan pokok yang harus dipenuhi terutama terkait akreditasi RS Pendidikan. Untuk menjadi RS Pendidikan utama syaratnya harus telah terakreditasi 16 pelayanan dengan sertifikasi masih berlaku, sedang untuk RS Pendidikan Afiliasi maka harus terakreditasi untuk 12 pelayanan, dan sebagai RS Satelit maka diwajibkan telah terakreditasi 5 pelayanan.
Dalam penelitian terhadap rumah sakit pendidikan yang dilakukan Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan, tahun 2003, sedikit memberikan gambaran yang sebenarnya. Penelitian ini dilakukan terhadap 20 Fakultas Kedokteran Negeri dan 19 Fakultas Kedokteran Swasta. Respon ratenya hampir 100 persen.
Hasil penelitian, seperti disampaikan Ditjen Yan Medik Dr. Farid W. Husein, menunjukkan ada beberapa masalah di rumah sakit pendidikan yang potensial menimbulkan masalah hukum. Antara lain, jumlah ko-as yang terlalu banyak di satu rumah sakit pendidikan sementara rasio dosen dan mahasiswa belum ada pola yang baku. Selain itu sebagian besar FK tidak menempatkan dosen khusus di rumah sakit pendidikan. FK lebih mengandalkan dokter di rumah sakit setempat untuk menjadi tenaga pengajar.( Majalah Farmacia ,April 2006)
Melihat fakta yang ada, sebenarnya dapat kita cermati bersama bahwa dalam pasal 6 Permenkes No. 512 tahun 2007 tentang ijin praktik dan pelaksanaan praktik kedokteran, diatur beberapa hal diantaranya ;
1. SIP bagi dokter dan dokter gigi sebagai pendidik yang melakukan praktik kedokteran dan kedokteran gigi pada RS Pendidikan, berlaku juga untuk melakukan proses pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi di RS Pendidikan lainnya dan atau rumah sakit atau sarana pelayanan pelayanan kesehatan lainnya yang dijadikan sebagai jejaring pendidikan.
2. Penetapan sebagai RS Pendidikan, standar RS Pendidikan dan standar RS atau sarana pelayanan kesehatan lainnya sebagai jejaring pendidikan sebagai tercantum pada ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan Menteri berdasarkan standar RS sebagai tempat pendidikan.
3. RS atau sarana pelayanan kesehatan lainnya sebagai jejaring pendidikan ditetapkan melalui kerjasama Dekan FK atau Dekan FKG dengan RS Pendidikan sebagai tempat pendidikan.
4. Dekan FK/FKG wajib melaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mengenai kerjasama tersebut.
Dari pasal 6 Permenkes No. 512 tahun 2007 maka SIP dr/drg pendidik tidak masuk dalam “syndrome 3 TP” ( Tiga Tempat Praktik) seperti yang digariskan dalam UUPK Pasal 37 ayat 2, artinya selama masih menjadi pendidik maka bisa melakukan praktik di RS Jejaringnya walau telah melampaui 3 tempat. Selain itu RS Pendidikan harus memiliki SK Menteri yang menunjuk sebagai RS Pendidikan. Dan disempurnakan dengan keharusan ada MOU antara FK/FKG dengan RS Pendidikan sebagai RS Jejaring Pendidikan yang wajib diketahui Kepala Daerah setempat. Hal ini diperkuat dengan keluarnya Surat Edaran dari Menteri Kesehatan no. 725/2007 yang mewajibkan Dekan FK/FKG untuk melaporkan kerjasama yang dibuat dengan RS Pendidikan kepada Kepala Dinas Kesehatan kabupaten / kota dengan tembusan Menteri Kesehatan.
Tanggungjawab lain yang melekat pada Institusi pendidikan dalam melaksanakan RS Jejaring jika melihat UU No. 29 tahun 2004 (UUPK) pasal 26 maka Institusi pendidikan mempunyai kewajiban untuk berkoordinasi dengan organisasi profesi, kolegium, asosiasi RS Pendidikan, Kementrian Pendidikan, Kementrian Kesehatan, Asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi untuk menyusun standar pendidikan profesi kedokteran dan kedokteran gigi, standar pendidikan profesi dokter spesialis dan atau dokter gigi spesialis.
Lebih jauh tanggungjawab Institusi Pendidikan dalam Pasal 6 ayat 3 Permenkes 512 tahun 2007, mewajibkan Dekan FK dan atau FKG untuk menuangkan kerjasama dengan RS Pendidikan berdasarkan standar rumah sakit sebagai tempat pendidikan, dan menetapkan rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya sebagai jejaring pendidikan.
Tak kalah penting mengenai kewajiban institusi pendidikan dalam hal ini Dekan FK/FKG berdasarkan surat persetujuan dari Konsil Kedokteran Indonesia pada saat awal pendidikan PPDS/PPDGS dilaksanakan, maka sebelum melakukan pendidikan dan pelayanan kedokteran pada RS Jejaring terlebih dahulu harus memberitahukan peserta didik baik nama, jadwal, dan tahap pendidikan ke Kepala Dinas Kesehatan kabupaten / kota tempat RS Jejaring berada (pasal 7 ayat 1 Permenkes 512 tahun 2007). Penegasan lain pada pasal 11 Permenkes 512 tahun 2007 turut diatur suatu kewajiban bahwa Dr/Drg di RS Pendidikan dan sarana kesehatan jejaringnya, dalam melaksanakan tugas mendidik dapat memberikan pembimbingan/pelaksanaan/pengawasan untuk melakukan tindakan kedokteran/kedokteran gigi kepada peserta didik tersebut untuk melakukan pelayanan medis kepada pasien di bawah pengawasan dan tanggungjawab pembimbingnya.
Namun lain halnya untuk kewajiban hukum bagi RS Jejaring pendidikan, pada pasal 42 UUPK hal yang harus dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban hukumnya secara umum adalah bahwa RS Jejaring Pendidikan wajib melarang dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki surat ijin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan yang dipimpinnya. Serta wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran disarana RS Jejaring yang dipimpinnya dan menempatkannya pada suatu tempat yang mudah dilihat.(Psl 41 ayat 2 UUPK dan Psl 16 Permenkes 512 th 2007).
Kemudian jika ada kesalahan medis yang ditimbulkan oleh peserta didik, semestinya siapa yang harus bertanggung jawab. Pada posisi ini kebanyakan terjadi saling lempar tanggungjawab, namun prinsip utama sebelum melihat pertanggungjawaban hukum maka perlu di cermati terlebih dahulu legalitas dari PPDS. Legalitas yang ada dibagi 2, secara pribadi dan kolektif. Secara pribadi yang harus diperhatikan yaitu terdaftarnya peserta didik dengan dibuktikan kepemilikan kartu mahasiswa atau tanda peserta PPDS dari Universitas yang sah, dan Kartu Tanda Anggota IDI kota tempat Universitas tersebut.
Secara kolektif maka yang harus diperhatikan adalah ada tidaknya sertifikat kompetensi yang dikeluarkan Ketua Program Studi (KPS) sesuai tahapan, surat keterangan Dekan terkait residen senior atau mandiri, ada tidaknya surat tugas KPS untuk melakukan kunjungan ke RS Jejaring Pendidikan dan terakhir ada atau tidak surat keterangan dari Direktur RS Jejaring Pendidikan tentang kewenangan klinik yang dimilikinya. Dalam hal pemberian SK ini maka secara hukum direktur dapat berarti respondeat superior yaitu ikut tanggungrenteng jika terjadi resiko medis yang dilakukan PPDS.
Legalitas PPDS tersebut tentu saja sangat di utamakan untuk mengurai pertanggungjawaban hukum yang ada dalam menjalankan praktik kedokteran. Bila legalitas secara pribadi dan kolektif terpenuhi maka tanggungjawab peserta didik yang melakukan kesalahan/kecelakaan medis saat melaksanakan praktik kedokteran pada RS jejaring maka respondeat superior berlaku yaitu tanggungrenteng berlaku mulai dari pembuat kesalahan, dosen pembimbing, direktur RS dan Dekan, disini semua lini bertanggungjawab karena kesalahan Peserta Didik dalam menjalankan praktik kedokteran. Sehinbgga pada dasarnya semua lini harus bertanggungjawab secara tanggungrenteng. (*Banu : Sekretaris Komite Hukum RSUP Dr Sardjito, diambil dari berbagai sumber)
Sabtu, 24 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar