Berita ini aku temukan saat aku menjelajah dunia maya, ada sebuah fakta yang terungkap yang saat itu belum aku ketahui, diambi dari Majalah Tempo Online. ini dia kisahnya ;
29 Agustus 1987
Si unyil, berseri sampai pagi
PENGADILAN Negeri Sleman, DI Yogyakarta, pekan lalu agaknya telah memecahkan rekor sebagai penyelenggara sidang terpanjang. Vonis perkara korupsi di Rumah Sakit Dokter Sardjito, Yogyakarta, dengan terdakwa dr. Edy Wibowo Kaswadi, setebal 490 halaman, dibacakan majelis hakim yang diketuai Idhar Mokoginta sejak pukul 10.00 tanggal 21 Agustus dan baru berakhir pukul 3.00 dinihari esoknya. Di kelelahan menjelang subuh itu, majelis akhirnya memutuskan Edy bersalah melakukan korupsi, dan karena itu menghukumnya 6 tahun penjara ditambah denda Rp 10 juta. Vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta agar Edy dipenjarakan selama 20 tahun, selain membayar denda Rp 30 juta. Sebab itu, tidak biasanya, Jaksa A.H. Ritonga kontan menyatakan banding atas keputusan majelis tersebut. Akibat sidang siang-malam itu, menjelang akhir vonis suara hakim semakin hilang sehingga terpaksa dipakai pengeras suara. Menjelang pagi seorang hakim anggota terlihat tidak kuat lagi menahan kantuknya. Sementara itu, paniteranya beberapa kali terlelap dan kemudian bangun lagi. Pesakitan Edy, 50 tahun, kendati menunggu hukuman bagi dirinya, tak terkecuali, ikut mengantuk. Sebenarnya, perkara Edy, bekas Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Dokter Sardjito, itu termasuk perkara korupsi biasa. Dokter lulusan UGM itu dituduh telah menyalahgunakan wewenangnya semasa menjabat Asisten Direktur Administrasi dan Keuangan RS Dokter Sardjito, ketika rumah sakit itu dibangun, sehingga negara dirugikan sekitar Rp 1,2 milyar. Beberapa bagian dari bangunan rumah sakit itu, menurut jaksa, telah dibangun di luar bestek yang semula ditetapkan. Akibatnya, rumah sakit yang mengabadikan nama presiden UGM pertama dan menelan biaya Rp 10 milyar itu mulai rontok setahun setelah diresmikan Presiden Soeharto, 1982. Edy, yang sebelum ditahan, September 1986, ketika menjabat Direktur Pelayanan Medis Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, juga dituduh jaksa telah memungli kontraktor yang ikut membangun rumah sakit itu scbesar 5% dari nilai kontrak. Sebagai imbalannya -- selaku wakil pimpinan proyek yang dijabat Prof. Dr. Ismangoen, Dirut RS Dokter Sardjito -- Edy menandatangani saja Laporan Kemajuan Pekerjaan kendati kontraktor yang melaksanakan pekerjaan itu menyimpang dari bestek. Bukan hanya memungli, Edy juga tuduh jaksa telah menyunat sekitar 70% dari uang masuk dari pasien RS Dokter Sardjito. Semua uang haram itu, menurut jaksa, selain untuk kepentingan pribadi juga dibagi ke atas, antara lain Prof. Ismangoen, Drs. Ikin Djayadisastra, dan dr. Gunawan. Tapi di sidang ternyata tidak semua dakwaan jaksa itu diterima hakim. Edy, misalnya, kata hakim tidak terbukti menyalahgunakan wewenang selaku pimpinan proyek. Sebab, di sidang, jaksa tidak berhasil menunjukkan pelimpahan wewenang secara tertulis dari pimpinan proyek yang sebenarnya, Ismangoen. Kecuali itu, jaksa juga gagal menghadapkan Ismangoen selaku saksi utama ke sidang. "Jaksa tidak berhasil menghadapkan saksi utama Prof. Ismangoen ke sidang. Padahal, saksi itu bisa menjernihkan persoalan siapa yang harus bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan bestek dalam pembangunan rumah sakit itu," kata Hakim Idhar Mokoginta di sidang. Sementara itu, menurut hakim, dari keterangan saksi-saksi disebutkan bahwa Ismangoen, selaku pimpinan proyek, sebagai satu-satunya pejabat yang bertanggung jawab atas diselewengkannya anggaran pembangunan rumah sakit yang dibiayai DIP Depkes dan Bantuan Presiden itu. "Tapi masalah itu tidak bisa dilacak sampai tuntas, karena ia tidak dihadirkan," tutur Hakim Idhar dalam vonisnya. Jaksa Ritonga memang gagal menghadapkan Prof. Ismangoen. Guru besar yang kini menjadi anggota DPA itu semula tidak bisa hadir dengan alasan sakit. Belakangan ia tidak bersedia datang karena, sebagai anggota DPA, ia baru bisa dipanggil ke pengadilan bila ada izin Presiden. Beberapa waktu lalu, ia juga tidak bersedia berbicara banyak tentang manipulasi itu kepada TEMPO. Anehnya, ia malah mengatakan tidak kenal dengan Edy, yang oleh pihak kejaksaan dianggap tangan kanannya. "Saya hanya kenal dengan Edy ketika ia masih mahasiswa," kata Ismangoen kepada TEMPO. Tapi, akibat Ismangoen tidak datang ke sidang itu pula, Edy luput dari sebagian tuntutan jaksa. Ia dibebaskan hakim dari tuduhan menyalahgunakan wewenang, dan hanya dihukum 6 tahun karena memungli kontraktor, dan menyunat uang penerimaan RS Dokter Sardjito. Dari kejahatan itu, kata hakim, ia terbukti mengkorup Rp 82 juta. Tentu saja, vonis hakim itu mengecewakan kejaksaan. Sebab itu, Jaksa Ritonga langsung banding. "Sebab, kami yakin bahwa tcrdakwa terbukti menyalahgunakan wewenangnya," kata sumber di kejaksaan. Sebelumnya, Jaksa Tinggi Yogyakarta, Djoko Mulyo -- sekarang dimutasikan ke Kejaksaan Agung -- malah menuduh Edy otak korupsi itu. Edy sendiri menolak diwawancarai TEMPO dan menyerahkan masalahnya kepada pengacaranya, A. Teras Narang dan Edy Saputra Sofyan. "Hukuman itu bagi kami terasa berat," ujar Teras Narang. Yang tak kalah menariknya dalam perkara itu adalah sidang terpanjang tadi. Kecuali sidang terakhir itu, majelis hakim memang sudah ngebut sidang itu sampai malam sejak awal Agustus lalu, kendati tidak sampai pagi. Sebab, seperti juga yang dialami majelis perkara subversi A.M. Fatwa dan perkara Nur Usman, masa penahanan Edy, sesuai dengan KUHAP, berakhir pada Rabu pekan lalu. Pada hari itu, bila perkara belum juga divonis, ia harus bebas demi hukum. Ternyata, kendati sudah sidang maraton, majelis tidak sanggup berlomba dengan waktu. Sebab itu, subuh Rabu pekan lalu, karena masa tahanan dianggap sudah lewat, pengacara Edy, Eddy Saputra Sofyan, menjemput kliennya itu ke LP Wirogunan, Yogyakarta. Tapi ia kecele. Sebelum Edy keluar, pihak kejaksaan sudah mengantisipasl membuat surat penahanan baru untuk perkara lain. Menurut surat penahanan itu Edy dituduh selaku pegawai negeri telah menerima hadiah dari dalam jabatannya (pasal suap) -- pasal yang semula tidak dituduhkan jaksa dalam perkara korupsi itu. "Pokoknya, seperti si Unyil, ceritanya berseri," kata sumber kejaksaan, puas. Tapi layakkah, menurut hukum, sebuah kejahatan diusut secara berseri begitu? Karni Ilyas, Laporan Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Jumat, 21 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar