Senin, 31 Mei 2010 | 13:29 WIB
Besar Kecil Normal
TEMPO Interaktif, Bantul - Puluhan mahasiwa Kabupaten Bantul mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bantul, Senin (31/5). Mereka menuntut para anggota Dewan menekan pemerintah supaya memberikan dana jaminan kesehatan gratis kepada seluruh warga miskin Bantul. Selain itu, mereka juga menggalang dana bantuan untuk Muhammad Zaen Pratama, 6 tahun, yang menderita sakit jantung bocor.
“Masih banyak warga miskin di Bantul yang belum mendapat jaminan kesehatan, kami mendesak anggota Dewan untuk memperjuangkan warga yang belum terjamah oleh jaminan kesehatan,” kata M Azhar, Ketua Ikatan Mahasiswa Bantul, Senin (31/5).
Zaen Pratama merupakan warga miskin yang tidak mendapatkan jaminan kesehatan sosial maupun jaminan kesehatan masyarakat. Orang tua Zaen tidak mampu membiayai operasi jantung di Rumah Sakit Umum Pusat dr Sardjito sebesar Rp 40 juta.
Setelah mengajukan dana jaminan kesehatan ke Dinas Sosial, Zen mendapatkan bantuan sebesar Rp 30 juta. Dana tersebut diambilkan dari dana Pelayanan Kesehatan Daerah dan Jaminan Kesehatan Sosial.
Namun di Rumah Sakit Umum Pusat dr Sardjito, Zein sudah diperiksa dan siap dioperasi. Sayangnya bangsal kelas III penuh. Sehingga ia masih harus menunggu antrean hingga bangsal kelas ekonomi itu ada yang kosong.
Pihak Rumah Sakit Umum Pusat dr Sardjito menyatakan bangsal kelas III memang penuh. Namun saat ini keluarga Zein sudah dihubungi supaya segera dibawa ke rumah sakit untuk dioperasi.
“Kami sudah menghubungi pihak keluarga, segera saja pasien dibawa ke rumah sakit untuk dioperasi,” kata Banu Hermawan, staf Humas Rumah Sakit Umum Pusat dr Sardjito.
MUH SYAIFULLAH
Senin, 31 Mei 2010
Jumat, 21 Mei 2010
Berita yang berserak ; Si Unyil, Berseri Sampai Pagi
Berita ini aku temukan saat aku menjelajah dunia maya, ada sebuah fakta yang terungkap yang saat itu belum aku ketahui, diambi dari Majalah Tempo Online. ini dia kisahnya ;
29 Agustus 1987
Si unyil, berseri sampai pagi
PENGADILAN Negeri Sleman, DI Yogyakarta, pekan lalu agaknya telah memecahkan rekor sebagai penyelenggara sidang terpanjang. Vonis perkara korupsi di Rumah Sakit Dokter Sardjito, Yogyakarta, dengan terdakwa dr. Edy Wibowo Kaswadi, setebal 490 halaman, dibacakan majelis hakim yang diketuai Idhar Mokoginta sejak pukul 10.00 tanggal 21 Agustus dan baru berakhir pukul 3.00 dinihari esoknya. Di kelelahan menjelang subuh itu, majelis akhirnya memutuskan Edy bersalah melakukan korupsi, dan karena itu menghukumnya 6 tahun penjara ditambah denda Rp 10 juta. Vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta agar Edy dipenjarakan selama 20 tahun, selain membayar denda Rp 30 juta. Sebab itu, tidak biasanya, Jaksa A.H. Ritonga kontan menyatakan banding atas keputusan majelis tersebut. Akibat sidang siang-malam itu, menjelang akhir vonis suara hakim semakin hilang sehingga terpaksa dipakai pengeras suara. Menjelang pagi seorang hakim anggota terlihat tidak kuat lagi menahan kantuknya. Sementara itu, paniteranya beberapa kali terlelap dan kemudian bangun lagi. Pesakitan Edy, 50 tahun, kendati menunggu hukuman bagi dirinya, tak terkecuali, ikut mengantuk. Sebenarnya, perkara Edy, bekas Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Dokter Sardjito, itu termasuk perkara korupsi biasa. Dokter lulusan UGM itu dituduh telah menyalahgunakan wewenangnya semasa menjabat Asisten Direktur Administrasi dan Keuangan RS Dokter Sardjito, ketika rumah sakit itu dibangun, sehingga negara dirugikan sekitar Rp 1,2 milyar. Beberapa bagian dari bangunan rumah sakit itu, menurut jaksa, telah dibangun di luar bestek yang semula ditetapkan. Akibatnya, rumah sakit yang mengabadikan nama presiden UGM pertama dan menelan biaya Rp 10 milyar itu mulai rontok setahun setelah diresmikan Presiden Soeharto, 1982. Edy, yang sebelum ditahan, September 1986, ketika menjabat Direktur Pelayanan Medis Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, juga dituduh jaksa telah memungli kontraktor yang ikut membangun rumah sakit itu scbesar 5% dari nilai kontrak. Sebagai imbalannya -- selaku wakil pimpinan proyek yang dijabat Prof. Dr. Ismangoen, Dirut RS Dokter Sardjito -- Edy menandatangani saja Laporan Kemajuan Pekerjaan kendati kontraktor yang melaksanakan pekerjaan itu menyimpang dari bestek. Bukan hanya memungli, Edy juga tuduh jaksa telah menyunat sekitar 70% dari uang masuk dari pasien RS Dokter Sardjito. Semua uang haram itu, menurut jaksa, selain untuk kepentingan pribadi juga dibagi ke atas, antara lain Prof. Ismangoen, Drs. Ikin Djayadisastra, dan dr. Gunawan. Tapi di sidang ternyata tidak semua dakwaan jaksa itu diterima hakim. Edy, misalnya, kata hakim tidak terbukti menyalahgunakan wewenang selaku pimpinan proyek. Sebab, di sidang, jaksa tidak berhasil menunjukkan pelimpahan wewenang secara tertulis dari pimpinan proyek yang sebenarnya, Ismangoen. Kecuali itu, jaksa juga gagal menghadapkan Ismangoen selaku saksi utama ke sidang. "Jaksa tidak berhasil menghadapkan saksi utama Prof. Ismangoen ke sidang. Padahal, saksi itu bisa menjernihkan persoalan siapa yang harus bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan bestek dalam pembangunan rumah sakit itu," kata Hakim Idhar Mokoginta di sidang. Sementara itu, menurut hakim, dari keterangan saksi-saksi disebutkan bahwa Ismangoen, selaku pimpinan proyek, sebagai satu-satunya pejabat yang bertanggung jawab atas diselewengkannya anggaran pembangunan rumah sakit yang dibiayai DIP Depkes dan Bantuan Presiden itu. "Tapi masalah itu tidak bisa dilacak sampai tuntas, karena ia tidak dihadirkan," tutur Hakim Idhar dalam vonisnya. Jaksa Ritonga memang gagal menghadapkan Prof. Ismangoen. Guru besar yang kini menjadi anggota DPA itu semula tidak bisa hadir dengan alasan sakit. Belakangan ia tidak bersedia datang karena, sebagai anggota DPA, ia baru bisa dipanggil ke pengadilan bila ada izin Presiden. Beberapa waktu lalu, ia juga tidak bersedia berbicara banyak tentang manipulasi itu kepada TEMPO. Anehnya, ia malah mengatakan tidak kenal dengan Edy, yang oleh pihak kejaksaan dianggap tangan kanannya. "Saya hanya kenal dengan Edy ketika ia masih mahasiswa," kata Ismangoen kepada TEMPO. Tapi, akibat Ismangoen tidak datang ke sidang itu pula, Edy luput dari sebagian tuntutan jaksa. Ia dibebaskan hakim dari tuduhan menyalahgunakan wewenang, dan hanya dihukum 6 tahun karena memungli kontraktor, dan menyunat uang penerimaan RS Dokter Sardjito. Dari kejahatan itu, kata hakim, ia terbukti mengkorup Rp 82 juta. Tentu saja, vonis hakim itu mengecewakan kejaksaan. Sebab itu, Jaksa Ritonga langsung banding. "Sebab, kami yakin bahwa tcrdakwa terbukti menyalahgunakan wewenangnya," kata sumber di kejaksaan. Sebelumnya, Jaksa Tinggi Yogyakarta, Djoko Mulyo -- sekarang dimutasikan ke Kejaksaan Agung -- malah menuduh Edy otak korupsi itu. Edy sendiri menolak diwawancarai TEMPO dan menyerahkan masalahnya kepada pengacaranya, A. Teras Narang dan Edy Saputra Sofyan. "Hukuman itu bagi kami terasa berat," ujar Teras Narang. Yang tak kalah menariknya dalam perkara itu adalah sidang terpanjang tadi. Kecuali sidang terakhir itu, majelis hakim memang sudah ngebut sidang itu sampai malam sejak awal Agustus lalu, kendati tidak sampai pagi. Sebab, seperti juga yang dialami majelis perkara subversi A.M. Fatwa dan perkara Nur Usman, masa penahanan Edy, sesuai dengan KUHAP, berakhir pada Rabu pekan lalu. Pada hari itu, bila perkara belum juga divonis, ia harus bebas demi hukum. Ternyata, kendati sudah sidang maraton, majelis tidak sanggup berlomba dengan waktu. Sebab itu, subuh Rabu pekan lalu, karena masa tahanan dianggap sudah lewat, pengacara Edy, Eddy Saputra Sofyan, menjemput kliennya itu ke LP Wirogunan, Yogyakarta. Tapi ia kecele. Sebelum Edy keluar, pihak kejaksaan sudah mengantisipasl membuat surat penahanan baru untuk perkara lain. Menurut surat penahanan itu Edy dituduh selaku pegawai negeri telah menerima hadiah dari dalam jabatannya (pasal suap) -- pasal yang semula tidak dituduhkan jaksa dalam perkara korupsi itu. "Pokoknya, seperti si Unyil, ceritanya berseri," kata sumber kejaksaan, puas. Tapi layakkah, menurut hukum, sebuah kejahatan diusut secara berseri begitu? Karni Ilyas, Laporan Slamet Subagyo (Yogyakarta)
29 Agustus 1987
Si unyil, berseri sampai pagi
PENGADILAN Negeri Sleman, DI Yogyakarta, pekan lalu agaknya telah memecahkan rekor sebagai penyelenggara sidang terpanjang. Vonis perkara korupsi di Rumah Sakit Dokter Sardjito, Yogyakarta, dengan terdakwa dr. Edy Wibowo Kaswadi, setebal 490 halaman, dibacakan majelis hakim yang diketuai Idhar Mokoginta sejak pukul 10.00 tanggal 21 Agustus dan baru berakhir pukul 3.00 dinihari esoknya. Di kelelahan menjelang subuh itu, majelis akhirnya memutuskan Edy bersalah melakukan korupsi, dan karena itu menghukumnya 6 tahun penjara ditambah denda Rp 10 juta. Vonis itu jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta agar Edy dipenjarakan selama 20 tahun, selain membayar denda Rp 30 juta. Sebab itu, tidak biasanya, Jaksa A.H. Ritonga kontan menyatakan banding atas keputusan majelis tersebut. Akibat sidang siang-malam itu, menjelang akhir vonis suara hakim semakin hilang sehingga terpaksa dipakai pengeras suara. Menjelang pagi seorang hakim anggota terlihat tidak kuat lagi menahan kantuknya. Sementara itu, paniteranya beberapa kali terlelap dan kemudian bangun lagi. Pesakitan Edy, 50 tahun, kendati menunggu hukuman bagi dirinya, tak terkecuali, ikut mengantuk. Sebenarnya, perkara Edy, bekas Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Dokter Sardjito, itu termasuk perkara korupsi biasa. Dokter lulusan UGM itu dituduh telah menyalahgunakan wewenangnya semasa menjabat Asisten Direktur Administrasi dan Keuangan RS Dokter Sardjito, ketika rumah sakit itu dibangun, sehingga negara dirugikan sekitar Rp 1,2 milyar. Beberapa bagian dari bangunan rumah sakit itu, menurut jaksa, telah dibangun di luar bestek yang semula ditetapkan. Akibatnya, rumah sakit yang mengabadikan nama presiden UGM pertama dan menelan biaya Rp 10 milyar itu mulai rontok setahun setelah diresmikan Presiden Soeharto, 1982. Edy, yang sebelum ditahan, September 1986, ketika menjabat Direktur Pelayanan Medis Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, juga dituduh jaksa telah memungli kontraktor yang ikut membangun rumah sakit itu scbesar 5% dari nilai kontrak. Sebagai imbalannya -- selaku wakil pimpinan proyek yang dijabat Prof. Dr. Ismangoen, Dirut RS Dokter Sardjito -- Edy menandatangani saja Laporan Kemajuan Pekerjaan kendati kontraktor yang melaksanakan pekerjaan itu menyimpang dari bestek. Bukan hanya memungli, Edy juga tuduh jaksa telah menyunat sekitar 70% dari uang masuk dari pasien RS Dokter Sardjito. Semua uang haram itu, menurut jaksa, selain untuk kepentingan pribadi juga dibagi ke atas, antara lain Prof. Ismangoen, Drs. Ikin Djayadisastra, dan dr. Gunawan. Tapi di sidang ternyata tidak semua dakwaan jaksa itu diterima hakim. Edy, misalnya, kata hakim tidak terbukti menyalahgunakan wewenang selaku pimpinan proyek. Sebab, di sidang, jaksa tidak berhasil menunjukkan pelimpahan wewenang secara tertulis dari pimpinan proyek yang sebenarnya, Ismangoen. Kecuali itu, jaksa juga gagal menghadapkan Ismangoen selaku saksi utama ke sidang. "Jaksa tidak berhasil menghadapkan saksi utama Prof. Ismangoen ke sidang. Padahal, saksi itu bisa menjernihkan persoalan siapa yang harus bertanggung jawab atas terjadinya penyimpangan bestek dalam pembangunan rumah sakit itu," kata Hakim Idhar Mokoginta di sidang. Sementara itu, menurut hakim, dari keterangan saksi-saksi disebutkan bahwa Ismangoen, selaku pimpinan proyek, sebagai satu-satunya pejabat yang bertanggung jawab atas diselewengkannya anggaran pembangunan rumah sakit yang dibiayai DIP Depkes dan Bantuan Presiden itu. "Tapi masalah itu tidak bisa dilacak sampai tuntas, karena ia tidak dihadirkan," tutur Hakim Idhar dalam vonisnya. Jaksa Ritonga memang gagal menghadapkan Prof. Ismangoen. Guru besar yang kini menjadi anggota DPA itu semula tidak bisa hadir dengan alasan sakit. Belakangan ia tidak bersedia datang karena, sebagai anggota DPA, ia baru bisa dipanggil ke pengadilan bila ada izin Presiden. Beberapa waktu lalu, ia juga tidak bersedia berbicara banyak tentang manipulasi itu kepada TEMPO. Anehnya, ia malah mengatakan tidak kenal dengan Edy, yang oleh pihak kejaksaan dianggap tangan kanannya. "Saya hanya kenal dengan Edy ketika ia masih mahasiswa," kata Ismangoen kepada TEMPO. Tapi, akibat Ismangoen tidak datang ke sidang itu pula, Edy luput dari sebagian tuntutan jaksa. Ia dibebaskan hakim dari tuduhan menyalahgunakan wewenang, dan hanya dihukum 6 tahun karena memungli kontraktor, dan menyunat uang penerimaan RS Dokter Sardjito. Dari kejahatan itu, kata hakim, ia terbukti mengkorup Rp 82 juta. Tentu saja, vonis hakim itu mengecewakan kejaksaan. Sebab itu, Jaksa Ritonga langsung banding. "Sebab, kami yakin bahwa tcrdakwa terbukti menyalahgunakan wewenangnya," kata sumber di kejaksaan. Sebelumnya, Jaksa Tinggi Yogyakarta, Djoko Mulyo -- sekarang dimutasikan ke Kejaksaan Agung -- malah menuduh Edy otak korupsi itu. Edy sendiri menolak diwawancarai TEMPO dan menyerahkan masalahnya kepada pengacaranya, A. Teras Narang dan Edy Saputra Sofyan. "Hukuman itu bagi kami terasa berat," ujar Teras Narang. Yang tak kalah menariknya dalam perkara itu adalah sidang terpanjang tadi. Kecuali sidang terakhir itu, majelis hakim memang sudah ngebut sidang itu sampai malam sejak awal Agustus lalu, kendati tidak sampai pagi. Sebab, seperti juga yang dialami majelis perkara subversi A.M. Fatwa dan perkara Nur Usman, masa penahanan Edy, sesuai dengan KUHAP, berakhir pada Rabu pekan lalu. Pada hari itu, bila perkara belum juga divonis, ia harus bebas demi hukum. Ternyata, kendati sudah sidang maraton, majelis tidak sanggup berlomba dengan waktu. Sebab itu, subuh Rabu pekan lalu, karena masa tahanan dianggap sudah lewat, pengacara Edy, Eddy Saputra Sofyan, menjemput kliennya itu ke LP Wirogunan, Yogyakarta. Tapi ia kecele. Sebelum Edy keluar, pihak kejaksaan sudah mengantisipasl membuat surat penahanan baru untuk perkara lain. Menurut surat penahanan itu Edy dituduh selaku pegawai negeri telah menerima hadiah dari dalam jabatannya (pasal suap) -- pasal yang semula tidak dituduhkan jaksa dalam perkara korupsi itu. "Pokoknya, seperti si Unyil, ceritanya berseri," kata sumber kejaksaan, puas. Tapi layakkah, menurut hukum, sebuah kejahatan diusut secara berseri begitu? Karni Ilyas, Laporan Slamet Subagyo (Yogyakarta)
Selasa, 11 Mei 2010
Penderita Gizi Buruk Menanti Uluran Tangan
Liputan6.com, Yogyakarta: Dua bocah berusia di bawah lima tahun dirawat di Rumah Sakit dokter Sardjito, Yogyakarta, karena gizi buruk. Orangtua kedua pasien pasrah sambil menunggu uluran tangan dari dermawan dan kepedulian pemerintah meringankan biaya perawatan. Pantauan SCTV, Ahad (9/5), keduanya terbaring lemah di rumah sakit.
Penderita gizi buruk pertama Lutfi Oktafiano. Saat dibawa ke rumah sakit dua pekan silam, bobot Lutfi hanya 4,7 kilogram. Padahal berat bayi seumurnya yakni enam bulan sekitar tujuh kilo. Menurut ibunya, awalnya Lutfi hanya batuk-batuk. Namun setelah diperiksa, anaknya menderita gizi buruk sehingga langsung dibawa ke RS Sardjito.
Penderita gizi buruk lainnya adalah Bayu Johar, berusia 15 bulan. Sejak ibunya meninggal lima bulan lalu, Bayu dirawat oleh neneknya. Asupan gizi terutama ASI untuk Bayu sangat kurang hingga ia terkena gizi buruk. Keluarga Lutfi dan Bayu kini galau tidak tahu harus kemana mencari uang untuk membiayai perawatan di rumah sakit.(JUM)
Minggu, 09 Mei 2010
PEMAKAIAN OBAT HERBAL MENINGKAT
YOGYAKARTA-Penggunaan obat tradisional termasuk di dalamnya obat herbal dari tahun ke tahun terus meningkat. Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) mencatat jika di tahun 1980 penggunaan obat herbal mencapai 19,8%, tahun 1986 bertambah menjadi 23,3% dan meningkat lagi menjadi 32,8% di tahun 2004 lalu.
“ Dengan peningkatan itu pelayanan medik herbal perlu dioptimalkan agar dapat terselenggara secara aman, efektif, dan bermanfaat serta berkualitas bagi pelaksana pelayanan maupun masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan ini,’ ujar Deputi Menkokesra Bidang Koordinator Kependudukan Kesehatan dan Lingkungan Emil Agustin, Sabtu (8/5/2010) di UGM.
Emil menambahkan kekayaan alam Indonesia akan tanaman obat herbal cukup melimpah. Bahkan pengakuan medis terhadap penggunaan obat herbal juga kian terbuka. Kementrian kesehatan melalui pencanangan pengembangan dan promosi obat tradisional dan kimiawi dibuat secara komplementer-alternatif.
“ Sudah dibuat secara komplemen antara keduanya,” katanya.
Bentuk perhatian lain pemerintah terhadap pengembangan obat herbal ujar Emil yaitu penelitian terhadap mangrove di Segaraanakan Cilacap sebagai obat antiretroviral virus (ARV) bagi penderita HIV-AIDS saat ini . Di sisi lain saat ini tengah diupayakan pula agar tanaman tradisional khususnya herbal ini bisa menjadi salah satu warisan dunia seperti halnya batik
“ Jadi jika bicara obat herbal bukan saja soal pertanian, tapi mencakup kesehatan, hingga ristek pula. Selain itu menjadikan sebagai warisan budaya dunia juga tengah kita upayakan,’ kata Emil (satria nugraha/trijaya)
“ Dengan peningkatan itu pelayanan medik herbal perlu dioptimalkan agar dapat terselenggara secara aman, efektif, dan bermanfaat serta berkualitas bagi pelaksana pelayanan maupun masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan ini,’ ujar Deputi Menkokesra Bidang Koordinator Kependudukan Kesehatan dan Lingkungan Emil Agustin, Sabtu (8/5/2010) di UGM.
Emil menambahkan kekayaan alam Indonesia akan tanaman obat herbal cukup melimpah. Bahkan pengakuan medis terhadap penggunaan obat herbal juga kian terbuka. Kementrian kesehatan melalui pencanangan pengembangan dan promosi obat tradisional dan kimiawi dibuat secara komplementer-alternatif.
“ Sudah dibuat secara komplemen antara keduanya,” katanya.
Bentuk perhatian lain pemerintah terhadap pengembangan obat herbal ujar Emil yaitu penelitian terhadap mangrove di Segaraanakan Cilacap sebagai obat antiretroviral virus (ARV) bagi penderita HIV-AIDS saat ini . Di sisi lain saat ini tengah diupayakan pula agar tanaman tradisional khususnya herbal ini bisa menjadi salah satu warisan dunia seperti halnya batik
“ Jadi jika bicara obat herbal bukan saja soal pertanian, tapi mencakup kesehatan, hingga ristek pula. Selain itu menjadikan sebagai warisan budaya dunia juga tengah kita upayakan,’ kata Emil (satria nugraha/trijaya)
TEKAN INFEKSI, RS SARDJITO GENCARKAN BUDAYA CUCI TANGAN
YOGYAKARTA- Infeksi yang hampir terjadi di seluruh rumah sakit di dunia ternyata banyak yang disebabkan karena kontak badan. Kontak badan yang terjadi baik antara pasien dengan dokter, dokter dengan pasien, dokter dengan perawat, perawat dengan pasien serta pasien dengan pengunjung.
“ Kontak badan terbanyak itu terjadi melalui tangan,” kata Ketua Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RS Dr Sardjito Yogyakarta, dr Andaru Dahisihdewi M Kes Sp PK K, di RS Sardjito, Sabtu (8/5/2010).
Andaru menambahkan 95 persen transisi infeksi di rumah sakit terjadi akibat kontak badan antar penghuni rumah sakit yang sebagian besar melalui tangan. Berdasarkan data wordl Health Organization (WHO) perilaku pelayanan bersih di seluruh rumah sakit di dunia sangat fluktuatif, baik itu oleh dokter ahli, dokter belajar, siswa belajar, perawat , pasien maupun pengunjung rumah sakit.
“ DI RS Sardjito sendiri perilaku pelayanan bersih itupun kadang mencapai angka 90 persen tetapi pada bulan tertentu hanya mencapai 50 persen saja,” jelasnya.
Sementara itu Direktur Utama RS Dr Sardjito, Prof Dr Budi Mulyono Sp PK menegaskan pihaknya mencanangkan gerakan kebersihan tangan kepada seluruh sektor baik dari dokter ahli, dokter yang tengah belajar, siswa calon dokter, perawat, pasien, pengunjung rumah sakit bagian adminitrasi serta seluruh elemen di RS tersebut.
“ Gerakan juga dilakukan dengan lounching gerakan kebersihan tangan secara serempak, lomba kebersihan tangan antara kelompok pelayanan di RS tersebut serta peluncuran buku pintar yaitu buku pegangan untuk perilaku kebersihan di RS Sarjito,” urai Budi
Melalui program tersebut pihaknya ingin menanamkan perilaku bersih sebelum dan sesudah pelayanan kesehatan di rumah sakit itu. Melalui perilaku bersih dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah kotak dengan semua pihak di RS tersebut maka penularan infeksi di RS itu bisa ditekan semaksimal mungkin (satria nugraha/trijaya)
“ Kontak badan terbanyak itu terjadi melalui tangan,” kata Ketua Pencegahan dan Pengendalian Infeksi RS Dr Sardjito Yogyakarta, dr Andaru Dahisihdewi M Kes Sp PK K, di RS Sardjito, Sabtu (8/5/2010).
Andaru menambahkan 95 persen transisi infeksi di rumah sakit terjadi akibat kontak badan antar penghuni rumah sakit yang sebagian besar melalui tangan. Berdasarkan data wordl Health Organization (WHO) perilaku pelayanan bersih di seluruh rumah sakit di dunia sangat fluktuatif, baik itu oleh dokter ahli, dokter belajar, siswa belajar, perawat , pasien maupun pengunjung rumah sakit.
“ DI RS Sardjito sendiri perilaku pelayanan bersih itupun kadang mencapai angka 90 persen tetapi pada bulan tertentu hanya mencapai 50 persen saja,” jelasnya.
Sementara itu Direktur Utama RS Dr Sardjito, Prof Dr Budi Mulyono Sp PK menegaskan pihaknya mencanangkan gerakan kebersihan tangan kepada seluruh sektor baik dari dokter ahli, dokter yang tengah belajar, siswa calon dokter, perawat, pasien, pengunjung rumah sakit bagian adminitrasi serta seluruh elemen di RS tersebut.
“ Gerakan juga dilakukan dengan lounching gerakan kebersihan tangan secara serempak, lomba kebersihan tangan antara kelompok pelayanan di RS tersebut serta peluncuran buku pintar yaitu buku pegangan untuk perilaku kebersihan di RS Sarjito,” urai Budi
Melalui program tersebut pihaknya ingin menanamkan perilaku bersih sebelum dan sesudah pelayanan kesehatan di rumah sakit itu. Melalui perilaku bersih dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah kotak dengan semua pihak di RS tersebut maka penularan infeksi di RS itu bisa ditekan semaksimal mungkin (satria nugraha/trijaya)
Senin, 03 Mei 2010
DI RSUP DR SARDJITO ; Klinik Herbal untuk Keamanan Pasien
YOGYA (KR) - Mulai Senin (3/5) RSUP Dr Sardjito membuka klinik herbal di Lantai II gedung Instalasi Gawat Darurat (lama) dengan mengembangkan fitofarmaka, obat standard untuk menjamin keamanan dan keselamatan pasien. Klinik herbal ini merupakan rangkain riset obat bahan alam, sehingga pasien yang berobat di klinik herbal ini selalu dimonitoring.
“Dalam rangkaian riset ini untuk farmasi harus mendapat izin POM, pengembangan ekstrak bernaung pada unit pengamanan terkait dengan Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Obat herbal yang diberikan kepada pasien harus sudah standard dan terus dimonitoring untuk menjaga keamanan dan keselamatannya,” kata Ketua Tim Pengembangan Obat Bahan Alam RS Dr Sardjito Dr dr I Nyoman Kertia SpPD-KR, Sabtu (1/5).
Untuk pelayanan klinik herbal ini prosedurnya sama dengan pasien lainnya, dari pendaftaran sampai pemeriksaan dan pengobatan harus melalui tahapan seperti pelayanan kesehatan yang lain. Pengobatan herbal ini meliputi semua kalangan, hanya saja belum menerima pasien Askes maupun Jamkesmas. “Namun akan di arah ke sana karena diharapkan lebih murah dari obat kimia,” ujar Nyoman Kertia.
Menjawab pertanyaan wartawan keberadaan klinik herbal dan potensi masa depan terutama untuk pelayanan kesehatan alam, Nyoman Kertia mengatakan keberadaan klinik di RS Sardjito ini merupakan yang ke-12. Pengobatan herbal ke depan menjanjikan karena disamping harga obat kimia semakin mahal, bahan obat alam di Indonesia cukup melimpah.
Menurut salah seorang dokter Klinik Herbal RSUP Dr Sardjito dr I Dewa Putu Prismantara pelayanan Klinik Herbal ini untuk obat yang sudah mengalami riset fitofarmaka 5 jenis, sementara yang terstandar dengan izin POM 30 jenis. (Asp)-f (sumber : asp ; kr.co.id)
“Dalam rangkaian riset ini untuk farmasi harus mendapat izin POM, pengembangan ekstrak bernaung pada unit pengamanan terkait dengan Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Obat herbal yang diberikan kepada pasien harus sudah standard dan terus dimonitoring untuk menjaga keamanan dan keselamatannya,” kata Ketua Tim Pengembangan Obat Bahan Alam RS Dr Sardjito Dr dr I Nyoman Kertia SpPD-KR, Sabtu (1/5).
Untuk pelayanan klinik herbal ini prosedurnya sama dengan pasien lainnya, dari pendaftaran sampai pemeriksaan dan pengobatan harus melalui tahapan seperti pelayanan kesehatan yang lain. Pengobatan herbal ini meliputi semua kalangan, hanya saja belum menerima pasien Askes maupun Jamkesmas. “Namun akan di arah ke sana karena diharapkan lebih murah dari obat kimia,” ujar Nyoman Kertia.
Menjawab pertanyaan wartawan keberadaan klinik herbal dan potensi masa depan terutama untuk pelayanan kesehatan alam, Nyoman Kertia mengatakan keberadaan klinik di RS Sardjito ini merupakan yang ke-12. Pengobatan herbal ke depan menjanjikan karena disamping harga obat kimia semakin mahal, bahan obat alam di Indonesia cukup melimpah.
Menurut salah seorang dokter Klinik Herbal RSUP Dr Sardjito dr I Dewa Putu Prismantara pelayanan Klinik Herbal ini untuk obat yang sudah mengalami riset fitofarmaka 5 jenis, sementara yang terstandar dengan izin POM 30 jenis. (Asp)-f (sumber : asp ; kr.co.id)
Langganan:
Postingan (Atom)