Penyelesaian sengketa atau konflik melalui jalur mediasi di
Indonesia masih sangat rendah. Kebanyakan kasus sengketa justru
diselesaikan di ranah hukum melalui proses peradilan.
Sekretaris Pusat Mediasi Indonesia, Sekolah Pascasarjana UGM,
drg. Suryono, S.H., Ph.D., menyebutkan bahwa penyelesaian kasus sengketa
di Indonesia masih di bawah angka 5 persen. Kondisi ini sangat
memprihatinkan mengingat masyarakat Indonesia yang memiliki budaya
musyawarah yang telah melekat sejak lama. Namun karena rendahnya
pemahaman tentang nilai luhur dalam kehidupan menjadikan konflik justru
diselesaikan ke pengadilan. “ Jauh berbeda dengan Jepang, setidaknya 60
hingga 70 persen kasus sengketa di selesaikan melalui mediasi,”terangnya
Jum’at (7/12) terkait penyelenggaraan seminar dan rembug nasional
mediator bertajuk 'Peace within Conflict Solution' yang akan
dilaksanakan di Grha Saba Pramana (GSP) UGM, Kamis (13/12) mendatang.
Rencananya akan menghadirkan sejumlah narasumber seperti Gubernur DIY
Sri Sultan HB X, M. Jusuf Kalla, Prof. dr. takdir Rahmadi, dan Ir. G.
Sulistyono.
Menurutnya, minimnya jumlah mediator independen, termasuk di
tingkat pengadilan menjadikan proses mediasi sulit dilakukan. Ditambah
lagi jika kasus sengketa sudah masuk ke ranah hukum, maka hakim
bertindak sebagai mediator dengan menggunakan azas kebenaran formil
dalam menyelesaikan kasus tersebut. Padahal seharusnya mediator
bertindak dengan mengkesampingkan bukti-bukti formil dengan mengutamakan
perdamaian sebagai tujuan akhir. “Sehingga kalau dalam persidangan ada
mediasi, itu hanya menjadi formalitas saja untuk bisa melanjutkan ke
persidangan selanjutnya,” ujarnya.
Proses mediasi di Indonesia sudah diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008. Dalam aturan tersebut menjelaskan
bahwa penyelesaian sengketa bisa dilakukan melalui proses
perundingan para pihak dengan bantuan pihak ketiga yang netral
dan tidak memihak guna membantu mencapai kemungkinan atau alternatif
penyelesaian sengketa terbaik dan saling menguntungkan kedua belah
pihak.
Ketidaktahuan masyarakat Indonesia terhadap proses mediasi,
janjut Suryono, sedikit banya mempengaruhi perilaku masyarakat dalam
penyelesaian sengketa yang lebih banyak membawanya ke ranah hukum.
Padahal mediasi bisa menjadi salah satu alternatif dalam penyelesaian
sengketa. “ Proses mediasi ini waktunya singkat, tidak banyak
mengeluarkan biaya serta prosedur yang lebih sederhan dibandingkan
dengan berperkara di pengadilan,” tuturnya.
Oleh sebab itu dengan adanya pusat mediasi, Suryono berharap
beberapa sengketa bisa diselesaikan melalui mediasi tanpa harus masuk ke
ranah hukum. Sejumlah kasus yang bisa diselesaikan melalui mediasi
diantaranya sengketa pertanahan, kesehatan, perceraian, perbankan,
keuangan dan jual beli.
Kasus sengketa yang bisa diselesaikan dengan mediasi harus
memenuhi pertimbangan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Bukti
benar dan salah dikesampingkan untuk proses damai namun tidak boleh
merugikan yang lemah, ada negosiasi dengan kedua belah pihak secara
terpisah untuk menemukan titik temu," jelasnya.
Sementara salah satu mediator di DIY, Banu Hermawan SH MHLi
mengungkapkan, profesi mediator bukan menjadi pesaing peradilan.
Kehadiran mediator justru membantu masyarakat yang membutuhkan keadilan
ketika harapan keadilan semakin merosot pada saat ini.
"Mediator bisa menjadi salah satu satu alternatif yang baik untuk
menyelesaikan sengketa dengan mediasi dan musyawarah,” jelasnya. (Humas
UGM/Ika)