Senin, 02 Agustus 2010

MENGENANG PROF. DR. M. SARDJITO, M.D., M.P.H.

MENGENANG PROF. DR. M. SARDJITO, M.D., M.P.H.
(13 Agustus 1889 – 13 Agustus 2010)

“Dengan memberi, seseorang menjadi kaya”
Falsafah hidup Prof. Dr. M. Sardjito, M.D., M.P.H.

Prof. Sardjito lahir pada 13 Agustus 1889 di Desa Purwadadi, Kawedanan Magetan, Karesidenan Madiun, Jawa Timur. Beliau adalah putra pertama dari lima bersaudara. Ayahnya, Pak Sajit, berprofesi sebagai guru.
Pendidikan Sardjito
Sejak usia 6 tahun, Sardjito mulai belajar Al Qur’an. Pada usia ini juga, Sardjito mengawali pendidikan umumnya di Sekolah Rakyat. Pada tahun 1889 keluarga Sardjito pindah ke Lumajang. Di kota ini pula pendidikannya di Sekolah Rakyat diselesaikan pada tahun 1901.
Antara tahun 1901 sampai 1907 Sardjito melanjutkan pendidikannya di sekolah Belanda di Lumajang.
Pada tahun 1907, Sardjito melanjutkan pendidikannya di Stovia (School tot Opleiding voor Indische Artsen), Jakarta. Pada saat itu seniornya di Stovia, Wahidin Sudirohusodo, Sutomo, dll. sedang hangat-hangatnya menyiapkan berdirinya Budi Utomo. Sardjito pun pada saat itu ikut aktif menjadi anggota Budi Utomo.
Pada tahun 1915, Sardjito lulus dari Stovia dengan predikat lulusan terbaik. Setelah lulus dari Stovia, Sardjito bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Jakarta selama satu tahun, kemudian pindah ke Institut Pasteur Jakarta (sekarang Gedung Eyckman) sampai tahun 1920. Seperi diketahui, Institut Pasteur adalah laboratorium riset paling terkemuka di belahan bumi selatan, yang menghasilkan hadiah Nobel bagi Eyckman, penemu penyakit beri-beri dan vitamin B1. Karena itu, jiwa peneliti Sardjito ikut terbangun disini. Salah satu contohnya adalah pada tahun 1918 sampai dengan 1919 Sardjito mengikuti tim penelitian khusus influenza di Institut Pasteur. Saat itu influenza menjadi momok masyarakat dunia dengan pandemi influenza. Influenza ini adalah penyakit pertama yang diteliti oleh Sardjito.
Pada tahun 1920-1922 Sardjito melanjutkan sekolah di Fakultas Kedokteran Universitas Amsterdam, kemudian pada tahun 1922-1923 pindah ke Universitas Leiden untuk belajar lebih intensif mengenai penyakit tropis.
Pada tahun 1923 Sardjito mendapatkan promosi doktor dari Universitas Leiden, Belanda dengan judul disertasi “Immunisatie tegen Baccilaire Dysenterie door Middle van Bacteriophaag Anti–Dysenterie Shiga–Kruse”. Sebagai promotornya adalah Prof. Dr. PC Flu. (Ada anekdote demikian: kehidupan Prof. Sardjito sangat berhubungan erat dengan “flu”; penelitian pertama dr Sardjito tentang flu, promotor di Leiden oleh Prof. Flu, sebagai penyebab sakit sampai wafat beliau adalah sakit flu).
Setelah lulus doktor, pada tahun 1923 Sardjito melanjutkan pendidikan ke John Hopkins University, Amerika Serikat untuk sekolah hygiene dan mendapat gelar Master of Public Health (MPH) pada tahun 1924.
Didasari oleh jiwa berorganisasi yang tinggi, Sardjito tetap aktif sebagai anggota Budi Utomo. Bahkan pada 1925 menjadi Ketua Budi Utomo Cabang Jakarta. Pada tahun 1926 – 1930, Sardjito menjadi anggota pemerintahan kotapraja dan wakil wethouder Jakarta.
Pada tahun 1931-1932, Sardjito memperoleh kesempatan tugas belajar tentang laboratorium di Reich-Gesundheitant, Berlin, Jerman.
Merintis Karir
Dunia pendidikan dan kedokteran memang telah mendarah daging dalam jiwa seorang Sardjito. Semangat Sardjito dalam kedua bidang ini terlihat dalam perjalanan karirnya berikut ini:
- Pada tahun 1924 sampai dengan 1929, sekembalinya dari Amerika Serikat, Sardjito menjadi dokter Laboratorium Pusat Jakarta.
- Pada tahun 1929 menjadi Asisten Kepala Sekolah Tinggi Kedokteran (GHS/Geneeskundige Hoogeschhoool).
- Pada tahun 1930 menjadi Kepala Laboratorium Makassar.
- 1932-1945 Kepala Laboratorium Semarang. Selama 1932-1942 meneliti lepra sambil menjadi Pemimpin redaksi Medische Brichten ( Berita Ketabiban).
Sardjito dan Sejarah UGM
Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sardjito diminta untuk mengambil alih Institute Pasteur Bandung. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik bersama dr. Moh Saleh dkk. Laboratorium ini pada jaman perang dengan Sekutu/Belanda hijrah ke Klaten. Sejak di Bandung, Sardjito juga aktif mendirikan Palang Merah untuk menolong pejuang kemerdekaan. Hal yang sama dilakukan juga di Klaten dan sekitarnya. Untuk pekerjaan itu Sardjito selalu dicari Belanda.
Pada 4 Januari 1946 Ibukota Jakarta pindah Yogyakarta. Pada 24 Januari 1946 di SMT Kotabaru muncul gagasan mendidrikan Balai Perguruan Tinggi, yang diberi nama Gadjah Mada yang bersifat kerakyatan dan swasta. BPT UGM berdiri 17 Februari 1946.
Pada 20 Mei 1949 di Kepatihan Yogyakarta dilangsungkan rapat penggabungan perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta, Klaten, dan Solo. Pada saat itu Sardjito mewakili perguruan tinggi yang ada di Solo dan Klaten. Karena tidak ada gedung untuk kantor dan ruang kuliah, Sardjito menyatakan untuk memikirkannya terlebih dahulu. Selain itu, pemindahan perguruan tinggi dari Klaten dan Solo memiliki resiko yang tinggi karena pada saat itu masih sering terjadi perang melawan Belanda di wilayah tersebut. Pada akhirnya, Sri Sultan HB IX memberikan tempat di Mangkubumen sebagai tempat untuk perguruan tinggi sehingga pemindahan perguruan tinggi dari Klaten dan Solo yang dikomando oleh Sardjito dapat berjalan lancar.
Pada 1 Nopember 1949 dibuka kompleks Ngasem yang menggunakan lokasi di Kadipaten. Dalam segala keterbatasannya, pada awal berdirinya perguruan tinggi di Yogyakarta menggunakan kamar kereta untuk poliklinik, kamar penjaga untuk laboratorium bakteriologi, kamar-kamar pelayan menjadi laboratorium kimia, rumah sakit darurat dan gedungnya dijadikan laboratorium fisika, dimana kemudian ada elektron mikroskupnya. Bahkan, kandang kuda bisa menjadi rumah sakit. Rumah sakit dari kandang kuda inilah yang menjadi tonggak lahirnya RSUP Sardjito yang megah saat ini.
Peraturan Pemerintah No. 23 tertanggal 16 Desember tahun 1949 menetapkan bahwa perguruan tinggi perlu digabung dan diberi nama Universitas Negeri Gadjah Mada (UNGM). Sardjito terpilih menjadi rektor pertama UNGM, sebutannya pada saat itu adalah Presiden Universiteit. Pada saat dilantik beliau berusia lebih dari 60 tahun.
Meletakkan Kerangka Dasar UGM
Sardjito yang didukung Notonagoro berhasil meletakkan kerangka dasar didirikan UNGM dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1950. Menurut PP itu Universitas Negeri Gadjah Mada adalah balai nasional ilmu pengetahuan dan kebudayaan, bertugas atas dasar cita-cita bangsa Indonesia yang termaktub dalam Pancasila, membentuk manusia susila, yang cakap, dan mempunyai keinsyafan bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia umumnya.
Sardjito membangun Gedung Pusat UGM sejak tahun 1951-1959. Sepanjang Sardjito menjadi Rektor, terdapat 3 gelar doktor Honoris causa yang diberikan UGM, yaitu kepada Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara.
Penelitian
Sebagai dokter yang sejak muda tergembleng di Laboratorium yang terdepan dijamannya, maka semangat meneliti Sardjito sangat besar. Selain influenza, baksiler disenteri, lepra, juga meneliti dan menemukan obat batu ginjal dari bahan Sonchus Avensis L ( tempuyung) yang terkenal dengan calcusol. Khusus untuk penemuan ini Dr Sardjito berpesan “...tidak boleh menjual obat ini mahal-mahal. Obat ini untuk rakyat. Banyak rakyat yng menderita penyakit batu ginjal. Kasihan kalau mereka harus operasi.”
Pada saat perang revolusi kemerdekaan, dalam suasa embargo, Sardjito mampu membuat vaksin anti penyakit infeksi seperti tyfus, kolera, dysenteri, stafilokoken, streptokoken, dll. Bahkan pada saat itu Sardjito mampu membuat tablet makanan yang berisi cukup kalori, protein, dan vitamin yang dapat dipergunakan oleh tentara di garis depan pertempuran.
Tulisan atau karya lain Sardjito diluar bidang kedokteran adalah di bidang paleoanthropologi dan seni pahat.
Penghargaan
Sardjito menjadi Rektor UGM sejak 1949-1961. Selain menjadi rektor UGM, beliau juga pernah menjabat sebagai Rektor UII pada tahun 1964, menjadi anggota MPRS pada tahun 1967, dan anggota Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1968. Banyak penghargaan, baik level nasional maupun internasional, bagi sosok Founding Father UGM ini. Selain penghargaan Bintang Keilmuan dari Uni Soviet pada tahun 1960, pada tahun 1961 Sardjito menerima penghargaan Bintang Satya Lencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Bintang Satya Lencana Karya Satya, dan pada tahun 1973 mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Tingkat II secara anumerta.
Pribadi Sardjito
Rektor pertama UGM ini adalah penggemar seni, wayang, permainan biola dan gong, seni pahat dan seni lukis, dan untuk olah raga beliau memilih tenis.
Sifat khas yang dimiliki Sardjito:
1. Lemah lembut, tutur bahasanya lembut menghormat. Sabar banget dengan mahasiswa, baru bisa marah kalau mahasiswanya gebleg banget dan bisa berkata “Saudara kurang ajar” ( maksudnya kurang mendapat ajaran atau kurang belajar).
2. Sederhana dan suka menolong.
3. Memberi lebih baik dari pada meminta.
4. Peneliti yang tekun dan pantang menyerah.
Makanan favorit dari Sardjito adalah sayur-sayuran dan telur. Acara rutin pagi hari dari Rektor pertama UGM ini adalah membaca buku, solat Subuh kemudian dilanjutkan membaca koran pagi sambil sarapan pagi berupa roti, susu, dan buah.
Sardjito meninggal pada Selasa, 5 Mei 1970.

“Profesor Sardjito telah memberikan kemampuannya dan jasa-jasanya selama hidupnya, dan dengan demikian, jiwa beliau bertambah kaya...”
Prof. Ir. Herman Johannes